Mengenang Ramadan 2018 di Desa Kemadang #2
Hal yang saya sukai ketika
menjalani Muballigh Hijrah (MH) di Desa Kemadang, Tanjungsari, Gunungkidul adalah saya bisa sering mendatangi
pantai pasir putih. Hampir setiap hari selepas salat subuh, anak-anak TPA yang saya ajar mendatangi
kamar saya dan kawan sekamar sekaligus partner MH saya.
Anak-anak TPA itu mengajak kami
jalan-jalan keliling desa. Kenangan yang tak terlupakan saat jalan-jalan
bersama mereka adalah saya jadi hafal lagu Ale-Ale Super Elja karena mereka
sering menyanyikannya.
![]() |
Jalan-jalan keliling desa |
Ale-ale super elja ale... Kau adalah kehormatanku... Bianco...Verde... Terus maju taklukan lawanmu....
Padahal saya bukan penyuka bola, tapi lagu Ale-Ale Super
Elja asik juga. Lagu ini kadang-kadang masih suka saya putar akalu sedang kangen dengan suasana MH.
Kalau tidak jalan-jalan keliling
desa, saya dan Arum diajak ke pantai Sepanjang menggunakan truk atau pick up. Kami
harus datang pagi-pagi sekali agar bisa naik truk angkutan. Truk itu digunakan
sebagai angkutan para petani yang hendak ke ladang atau nelayan yang mau ke
laut. Ongkos angkutan yang ditarik untuk bisa menumpang truk ini tak mahal, per
orang cukup membayar dua ribu saja.
Ketika semuanya masuk ke dalam truk, kami berdiri
berdesakkan dengan penumpang yang lainnya yang akan pergi ke ladang. Meskipun berdesakkan, saya tak merasa keberatan karena ini merupakan pengalaman
pertama saya bisa naik truk menjelajahi daerah Tanjungsari. Selama perjalanan, angin segar pedesaan berhembus pelan menyapu wajah.
![]() |
Saya, Arum, dan anak-anak TPA berdesakan naik truk menuju pantai |
![]() |
Bapak petani dan tanaman padinya |
Jika menggunakan truk, perjalanan
ke pantai hanya memakan waktu kurang lebih lima belas menit saja. Sesampainya di pantai,
saya, Arum, dan beberapa anak TPA itu langsung bermain air. Beberapa anak membuat istana pasir.
Dari beberapa kali kunjungan ke pantai saya ingat betul kalau saya jarang basah-basahan karena saya
tidak membawa baju ganti. Meskipun begitu, tentu kurang afdhol bukan jika kita tidah basah-basahan, palingan saya hanya main air tapi hanya membasahinya sampai lutut celana saja supaya cepat kering. Rasanya ketika asyik bermain bersama anak-anak TPA membuat saya lupa kalau saat itu sedang puasa, memang bermain bersama anak-anak membuat kita lupa waktu dan terbawa energi positif mereka yang tak punya beban pikiran
![]() |
Anak-anak TPA yang memandangi lautan |
![]() |
Arum dan anak-anak yang membuat istana pasir |
Saya baru merasa capek saat
pulang dari pantai dan mau mencegat truk. Saolnya, matahari sudah meninggi dan
mulai terasa terik. Tenggorokkan pun terasa haus. Biasanya, kalau habis dari
pantai, saya dan Arum salat zuhur dulu, baru setelah itu tidur sampai azan
ashar berumandang. Lalu, kami siap-siap untuk mengajar TPA dan berbuka bersama
anak-anak.
Saat mengajar TPA, kadangkala
saya merasa kewalahan dengan anak-anak yang bandel. Mereka harus dibujuk
beberapa kali agar mau menyetorkan bacaan iqro’ mereka. Lebih lagi, kalau ada
yang bertengkar dan salah satunya ngambek. Pusing sendiri saya untuk
menenangkannya.
Setelah setoran bacaan iqro
beres, kalau masih ada waktu, saya dan Arum akan menyanyikan lagu-lagu islami
dan juga mengajarkan doa sehari-hari. Kadang, kalau sudah bosan dengan rutinitas
itu, saya akan mendongeng tentang kisah nabi-nabi. Walaupun saya nggak
jago-jago amat waktu mendongengi mereka. Tapi, saya ingat sekali mereka sangat
antusias mendengarkan cerita saya.
Menjelang waktu berbuka, saya dan
anak-anak mengambil teh yang sudah disiapkan. Lalu tak lupa mengambil jajanan
yang ada. Setiap hari jajannya berbeda-beda, kadang Cuma gorengan atau jajanan
pasar biasa, tapi kalau beruntung dapat boks makanan juga.
![]() |
Menemani anak-anak TPA perempuan yang berbuka puasa |
Setelah berbuka di masjid bersama anak-anak rasanya perut terasa kenyang, tetapi usai salat Maghrib ibu pamong rumah ternyata juga sudah menyiapkan makan malam yang cukup banyak. Meskipun perut saya terasa penuh sekali, mau tak mau saya harus memakannya karena sudah
terlanjur dimasakkan. Tentu ibu akan merasa sedih bukan jika makanan itu tidak ada yang makan dan justru terbuang sia-sia. Namun, saya ingat Arum memutuskan tidak makan lagi karena sudah terlampau kenyang. “Aku sudah kenyang
banget sumpah, Nas”
Berhubung selama Muballigh Hijrah itu Arum tak banyak makan, selama dua puluh
hari itu sayalah yang menghabiskan makanan yang disediakan ibu pamong. Saya menikmatinya karena masakan ibu pamong enak sekali. Gara-gara sering makan selama Muballigh Hijrah, berat badan saya menjadi naik. Saya melakukan itu karena saya tidak tega jika melihat ibu pamong yang sudah susah-susah memasak tapi tidak ada yang makan. Saya sungguh mengerti perasaan itu, jadilah saya paling tidak suka jika ada orang yang menyia-nyiakan makanan yang sudah disediakan oleh seseorang.
....
(bersambung)
Komentar
Posting Komentar