Mengenang Ramadan 2018 di Desa Kemadang #1

Bulan Ramadan tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di tahun sebelum-sebelumnya kita masih bisa menjalani rutinitas Ramadan dengan melakukan hal-hal seperti mendatangi majelis taklim, salat subuh dan tarawih berjamaah di masjid, ngabuburit sama temen-temen sampai buka bersama kawan lama. Namun, di tahun ini kita tak bisa menjalani rutinitas tersebut. Kita harus menjalani kegiatan serba di rumah. Tentu tahun ini kita menjalani bulan puasa yang tak biasa.

Meski terasa membosankan, saya mencoba menikmatinya. Menikmati tugas-tugas yang diberikan dosen sambil diselingi nonton film dan drama korea atau juga menulis apapun yang ada di pikiran saya. Saya pernah membaca sebuah artikel yang menyebutkan kalau menulis jurnal bisa mengurangi rasa stres yang sering menghinggapi orang-orang (termasuk saya sendiri) di masa pandemi ini. Jadi, saya mencoba menulis apapun yang terlintas.

Di bulan Ramadan tahun ini, saya jadi sering mengorek-orek kembali kenangan di masa lalu saya sebelum corona ini mewabah. Ingatan saya kali ini membawa saya ke kenangan Ramadan dua tahun lalu yang saya habiskan di desa Kemadang. Sebuah desa pesisir yang terletak di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul, DIY. Saya melakukan Muballigh Hijrah di desa ini.

Kegiatan ini merupakan program wajib tahunan sekolah saya, Madrasah Muallimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Muballigh Hijrah adalah kegiatan dakwah yang diprogram sekolah saya dengan menerjunkan pendakwah ke daerah terpencil DIY (ada juga yang di daerah Magelang) selama 20 hari di bulan Ramadan. Kegiatan yang dilakukan selama di lokasi dakwah mengajar TPA dan kultum selama 20 hari Ramadan.

Program Muballigh Hijrah ada tiga jenis, Muballigh Hijrah lokal, Muballigh Hijrah Nasional, dan Muballigh Hijrah Internasional.Waktu itu, teman-teman saya pada daftar MH nasional dan MH internasional. Saya waktu itu sebenarnya juga ingin MH sampai jauh. Tapi, ya karena kantong saya kering, ya sudah saya nggak mau muluk-muluk, saya ambil yang lokal saja.

Untuk menuju ke lokasi, saya dan partner dakwah saya, sebut saja Arum diantar menggunakan mobil sekolah. Sesampainya di rumah singgah, saya dan Arum langsung meletakkan barang di kamar dan sowan ke pamong rumah. Waktu itu, saya dan Arum sampai ke lokasi siang hari.

Di keesokkan harinya, saya, Arum dan Ida, kawan saya yang ditempatkan di desa sebelah diajak Revan, seorang anak TPA kami untuk berjalan kaki menuju ke Pantai Sepanjang. Kami mengiyakan ajakan itu, lagipula hari itu belum masuk bulan Ramadan, jadi saya pikir nggak apa-apa kalau mencobanya. Saya pun mengecek aplikasi maps yang ada di gawai saya, ternyata jaraknya cukup jauh 10 KM.Tapi, karena penasaran bagaimana rasanya jalan kaki sejauh 10 KM, kami lakukan perjalanan itu. Kami berjalan melewati beberapa dusun.

Setelah cukup lama berjalan, saya akhirnya hanya melihat pemandangan ladang dan pepohonan saja di kanan dan di kiri saya. Sesekali berpapasan dengan para petani ladang dan tersenyum kepada mereka. Jalanan yang kami lewati pun tak datar, kadang naik kadang turun. Meskipun saya lelah dan sudah mandi keringat,tapi saya tetap menguatkan diri saya untuk terus berjalan dan membayangkan keindahan pantai Sepanjang.

Masa saya kalah dengan anak berusia 11 tahun di depan saya?
Begitu batin saya sambil melihat anak lelaki yang sudah jauh di depan saya.


  
potret jalanan desa Kemadang
 
jalanan terjal menuju pantai














Satu setengah jam kami berjalan, akhirnya sampai juga di lokasi pantai. Jantung saya berdebar hebat. Rasa lelah saya langsung hilang ketika mendengar debur ombak dan melihat air laut dari kejauhan. Kami berempat pun berjalan lebih cepat agar lebih cepat menemui laut. Revan mengajak saya, Arum, dan Ida ke warungnya. Di sana kami membuat mi instan kuah dan memakannya di halaman warung yang menghadap ke laut.

Bagi saya, sungguh ini sebuah kenikmatan yang tiada tara menikmati mi kuah buatan sendiri setelah berjalan 10 km lalu melihat pemandangan yang indah. Saya senang sekali waktu itu. Rasanya rasa capek saya terbayar tuntas hanya dengan menatap laut dan suara ombak yang menenangkan. Entah mengapa, siang itu saya percaya kalau Muballigh Hijrah selama 20 hari itu akan terasa menyenangkan dan mengesankan.

(bersambung)

Komentar

Postingan Populer