Merenung

Akhir-akhir ini saya sering berpikir bagaimana kalau saya tak hidup sampai tua, belum sempat melihat anak-cucu-cicit. Karena jika dipikir-pikir kembali, kita tak tahu pasti Allah menakdirkan kita bagaimana. Kita bisa saja santai-santai sekarang, menikmati kenikmatan dunawi yang sementara. Kita sebenarnya tahu kalau kematian itu bisa datang kapan saja, tanpa melihat umur. Namun, hati kita seperti tertutup, kita lebih mementingkan dunia ini dari apa pun.

Umur saya sudah hampir sembilan belas tahun. Sudah mendapat KTP, SIM, dan juga KTM. Kartu-kartu itu telah menandakan saya sudah dewasa secara umur dan fisik.Saya sering kekanakan dalam bertingkah, rasanya jika dipikir-pikir, saya harus mulai mendewasakan diri dan pikiran. Saya masih labil dan terombang-ambing. Saya masih suka bergantung pada orang lain, padahal sebenarnya hal itu tak perlu. Saya terkadang terlalu mendengarkan pendapat orang-orang mengenai saya. Sehingga hal ini tak membuat saya berkembang.

Dengan umur yang tak tahu akan bertambah sampai kapan, saya terus berpikir. Saya akan mulai menyenangkan diri saya dan berbuat sebagai manusia bebas tanpa merisaukan pendapat orang-orang tentang saya.
"Ini tubuh saya, saya yang berhak mengatur, kalian-kalian itu siapa kok terlalu mengurusi hidup saya? Hidup kalain saja belum tentu teratur, sudah berani mengatur orang lain!"

Dalam konteks kebebasan sebagai manusia, saya perlu enjelaskan agar teman-teman tidak bingung. Saya sejak bersekolah di asrama yang penuh aturan, saya selalu ingin menjadi manusia bebas yang bisa ke sana ke mari sesuka saya. Tapi, tampaknya Allah masih belum mengizinkan hal itu di tahun ini. Sehingga, saya masih tetap menjadi mahasantri di asrama saya dulu.Saya selalu menahan diri untuk melakukan banyak hal sesuka saya, saya merasa saya tidak merdeka dalam menjadi diri sendiri. Aturan-aturan terus mengelilingi saya.

Beberapa waktu terakhir, saya sering melihat postingan penulis buku @puthutea di linimasa instagramnya. Saya mendapatkan beberapa pencerahan untuk menguatkan tekad saya menjadi seorang penulis. Saya sejak dulu ingin menjadi penulis ataupun jurnalis, tapi saya tak benar-benar meniatinya. Saya tak memiliki usaha. Saya sering memenangkan rasa malas saya dibanding harus memenangkan harapan dan cita-cita saya. Di salah satu postingan beliau ada kata-kata yang terus terngiang-ngiang di benak saya.

"Terkadang, hal yang membuat seorang penulis mandeg menulis adalah karena mereka berambisi untuk menghasilkan karya yang bagus, karya yang disukai orang-orang dan pada akhirnya karya tak pernah lahir dan penyesalan pun bermunculan. Penulis itu, seharusnya menulis dengan apa adanya, menulis sesuai dengan kehendak hatinya tanpa mempedulikan tanggapan orang lain. Biarlah orang-orang memilih untuk menyukai karya tulis kita atau membencinya. Kita menulis bukan untuk menyenangkan hati para pembaca saja, kita menulis karena kita ingin."

Teori ini tak berlaku untuk menulis saja, tapi juga dalam menjalani hidup. Kira lah yang menentukan hidup ini, kita tak butuh didekte orang lain. Tapi, agar hidup ini tak terlalu menyeleweng, kita harus tetap berpedoman pada ajaran agama kita. Saya bertekad untuk melakukan yang terbaik selama saya masih hidup. Saya akan menghasilkan karya-karya yang luar biasa esok nanti. Untuk saat ini, biarlahkalian menertawakan tulisan saya yang lebay ini. 

Komentar

Postingan Populer