Ayah, Terima Kasih

Hari ini hari ayah, sebuah hari peringatan yang tak selalu diingat banyak orang. Hari Ayah memang tak semomentum seperti hari ibu. Ini karena ibu merupakan sosok yang melahirkan anaknya, sosok yang membersamainya dari dalam bentuk zygot sampai jadi janin, bahkan sampai dilahirkan. Tentu saja sesuatu hal yang wajar jika hampir semua anak menganggap ibunya sebagai sosok nomer satu di hidupnya. Meski begitu, anak yang lebih dekat hubungannya dengan sang ayah tetap saja ada, bukan?

Ketika beberapa anak merasa ayahnya lebih hebat dibanding ibunya, menurut saya itu tak perlu disalahkan, terlebih didalili dengan hadist yang memerintahkan untuk menghormati ibu sebanyak 3x setelah itu baru sang ayah. Selama si anak tetap menghormati ibunya, rasanya tidak apa jika ayah berada di urutan nomer satu untuk dirasa sebagai sosok orangtua nomer satu.

Berbicara mengenai ayah, saya jadi ingat momen-momen saat bersama ayah. Saya sendiri merasa lebih dekat dengan ayah dibanding dengan ibu saya. Seingat saya, meskipun ayah beberapa kali memarahi saya, tetapi ayah sangat baik dengan saya. Lebih murah hati dibanding dengan ibu. Ini bukan tentang masalah menjelek-jelekkan ibu sendiri, tapi saya hanya berbicara sesuai fakta saja, kok.

Hehehe....

Saya ingat sekali, ayah saya selalu mengantar saya mengaji TPA di masjid. Tak hanya itu, ayah saya juga selalu mengabulkan permintaan saya yang sering berpindah-pindah yayasan TPA karena alasan tak nyaman dengan lingkungannya. Setelah mengaji, bersama dua adik saya (sewaktu itu adik saya yang ketika belum lahir) diajak ayah ke Taman Sarbini. Sebuah taman yang memiliki patung hewan-hewan dan permainan kanak-kanak. Saat mengunjungi taman itu, saya merasa sedang berada di kebun binatang buatan dan jika sudah menaiki patung-patung binatang saya dan adik saya lupa diri dan enggan untuk pulang. Rasanya ayah tahu cara menyenangkan anak-anaknya.


Biasanya saya, adik-adik, dan ayah menghabiskan waktu di Taman Sarbini sampai matahari turun dari peraduannya. Namun, sekarang taman dan patung-patung hewan itu sudah tak ada, sudah diganti kolam renang. Andai saja taman itu masih ada, mungkin jika pulang dari Jogja, saya akan membaca buku yang kupinjam dari perpustakaan daerah yang berada tepat di samping Taman Sarbini. Sungguh taman yang nyaman untuk digunakan bersantai-santai di sore hari melepas penat.


Cerita yang lainnya tentang ayah yang saya kagumi adalah ketika saya kira-kira berumur enam atau tujuh tahun, ayah membawa sekeluarga mudik ke Purworejo menggunakan motor. Waktu itu, kami mudik menggunakan motor bebek Suzuki. Bisa dibayangkan bagaimana sempitnya menggunakan motor itu untuk berlima, bukan?

Ayah memiliki strategi agar cukup digunakan berlima beserta barang bawaan, ia membuat papan yang terbuat dari tripleks untuk digunakan saya dan adik laki-laki saya yang saat itu berumur empat tahun duduk di depan ayah. Ibu saat itu duduk di belakang sambil menggendong adik perempuanku yang mungkin saat itu berumur belum sampai dua tahun. Di belakang ibu, ada kayu penyangga yang digunakan untuk menaruh tas baju-baju. Waktu tempuh perjalannya diperkirakan akan berjalan selama depalan jam, tetapi, karena tiap ayah capek istirahat, alhasil perjalanan dari Blora ke Purworejo ditempuh dalam waktu kurang lebih sepuluh jam. Sungguh perjalanan yang melelahkan, tapi sebuah perjalanan mudik yang momental bagi saya dan keluarga saya yang saat itu hidup pas-pasan.

Itu hanya secuil cerita kenangan bersama ayah, ada hal lagi yang membuat saya salut dan membuat saya terharu karenanya. Ini  pengalaman saya ketika saya duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Seorang ayah yang baik tentu akan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang baik pula. Waktu itu, saya yang masih bocah sangat menentang keinginan ayah saya ketika beliau ingin memasukkan saya di salah satu pondok pesantren di Jogja. Pikiran bocah saya dulu sangat imajinatif, bisa-bisanya saya mengira kalau ayah dan ibu saya kesal dan benci dengan saya sehingga saya akan dipisahkan dari keluarga. Dengan pikiran dangkal itu, saya berdoa kepada Allah SWT dan juga meminta doa ke teman-teman agar saya tak diterima tes PPDB di pondok pesantren di Jogja.

Saat keberangkatan ke Jogja untuk tes, saya ditemani ayah. Dari awal sampai akhir tes, saya hanya ditemani ayah. Ibu saya menjaga adik-adik di rumah. Selepas tes tertulis dan wawancara, saya dan ayah menuju ke Taman Pintar untuk menunggu travel. sambil menunggu jemputan, ayah mengajak saya ke Shopping, kumpulan toko-toko buku yang menjual berbagai jenis buku, dari buku bajakan, buku bekas, buku cacat produksi, dan buku yang asli pun tersedia di sana. Di Shopping saya membeli beberapa buku KKPK dan Pink Berry dengan harga yang miring dibanding saya membeli buku tersebut di Toko Buku Menara, satu-satunya toko buku di Blora yang menjual KKPK.

Seminggu kemudian, pengumuman hasil tes pun keluar. Ternayata Allah SWT mendengar doa-doa saya. Saya lega, saya tidak diterima di pondok pesantren yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya, pesantren yang kuketahui saat itu hanya ponpes Ngruki di aman pesantren itu terkenal karena ada santrinya yang terjaring kasus terorisme Abu-Bakar Ba'asyir pada tahun 2006. Ternyata, ayah saya sedih sekali mengetahui kalau saya tak diterima. Tak putus asa, ayah saya pun keukeuh untuk mendaftarkan saya pada tes gelombang dua.

Melihat betapa gigihnya ayah, sampai saya dicekoki buku-buku latihan Tes Potensi Akademik CPNS. Mulai saat itu, saya memantapkan diri dan yakin kalau saya bisa menyenangkan hati ayah saya. Saya kira saya sering membuatnya marah dan jengkel, saya pun bertekad kalau saya bisa lolos di tes gelombang kedua ini. Di tes gelombang kedua ini, ayah juga lah yang menenami saya ke Jogja. Dan seminggu setelah tes, Alhamdulillah, saya berhasil lolos tes. Saya senang ketika melihat ayah saya merasa senang, karena kata ayah ini sekolah perkaderan yang bagus untuk saya. Saya percaya kata-kata beliau.

Setelah enam tahun berlalu, saya berhasil lulus dari pondok pesantren Madrasah Mu'allimaat muhammadiyah Yogyakarta dan berhasil masuk universitas negeri favorit, rasanya saya senang melihat ayah bangga. Tapi, meski begitu, saya merasa belum benar-benar membanggakannya. Saya masih bergantung padanya, saya sering merepotkannya dengan membeli kebutuhan sekunder bagi saya yang tentunya membuat saya boros. Padahal ayah saya sudah susah payah mencari uang, tapi saya seperti tak tahu diri meminta uang padanya terus menerus. Maaf yah, saya belum bisa mandiri dan belum bisa menghasilkan uang yang banyak untuk kebutuhan saya sendiri.

Mungkin ini cerita yang membosankan, tapi bagi saya ini seperti sebuah nostalgia dan intropeksi bagi diri saya yang secara harfiah sudah dewasa tapi sebenarnya saya masih kekanakan dan egois. Inti dari saya menulis in adalah ucapan terimakasih saya kepada ayah saya yang senantiasa menemani dan membuat saya merasa dilindungi oleh ayah. Sehat terus ya, yah. Kecup jauh dari anak sulungmu yang sedang merantau di Jogja. Saya mencintai ayah! <3

Selamat Hari Ayah!


Komentar

Postingan Populer