Pinjami Aku Bukumu

Siang itu, aku mengiriminya pesan,
"Pinjami aku MADILOG"
"Oke. Mari ketemu."balasnya.
Setelah itu, kami janjian untuk bertemu saat itu juga.
Aku menyuruhnya datang ke kafe Kumpeni.
Kafe yang lokasinya berjarak kira-kira 100 m dari asramaku.
Setengah jam berlalu, ia sudah sampai di lokasi.
Aku masih di bilik kamarku dan juga bergegas kesana
mengenakan outift denim warna putih yang dipadukan
rok wolfis abu andalanku.
Tepat di teras kafe, dia menghampiriku.
Gayanya masih sama seperti yang kutemui waktu itu.
Ia mengenakan kaos hitam yang dipadukan jeans yang robek
lututnya. Style andalannya.
Aku duduk di salah satu bangku di kafe itu.
Aku bisa melihat buku MADILOG ditaruh di meja depanku.
Sambil membuka-buka isi bukunya, dia malah duduk di depan
bartender dan bercakap-cakap dengan baristanya.
Aku bingung dengannya. Aku dibiarkannya duduk termenung
di bangku tanpa ditawari makanan ataupun minuman.
Dasar tidak peka.
Dari tempatku duduk, aku bisa mendengar sayup-sayup
obrolannya dengan lawan bicaranya.
Rasa kesalku sepertinya sudah berada di puncak.
Aku ingin pamitan langsung dengannya tapi urung karena
malu dengan barista yang diajaknya ngobrol.
Aku pun mengiriminya pesan singkat.
"Aku pulang."
Kutolehkan wajahku ke tempatnya duduk. Ia bahkan tak
menyentuh ponselnya.
Lalu satu misscall berhasil membuatnya menoleh ke arahku.
Aku langsung berdiri dan pergi dari kafe itu dengan perasaan dongkol.
Apa-apaan dia??!! Dia tak mengajakku bercakap sama sekali.
Di perjalanan pulang, layar ponselku menampilkan notifikasi pesan darinya.
Ia menyuruhku kembali.
Aku menuntutnya membelikanku es krim. Dia setuju.
Aku kembali ke kafe itu. Dia duduk di depanku.
"Aku tadi menghabiskan tembakauku." Ia menjelaskan.
Aku mendengus,
"Aku tak paham dengan bahasa tubuhmu, bodoh!"
Aku berkata begitu karena dulu saat kita bertemu,
dia merokok dengan santainya di depanku.
Dan rasanya wajar saja jika aku tak faham bahasa tubuhnya.
Tak lama kemudian, es krim pesananku datang.
Lalu kami berbincang tentang banyak hal. Dari topik isi buku, agama,
kegiatan sehari-hari, pekerjaan, kuliah, nostalgia masa lalu,
bahkan membicarakan orang lain juga. Aku lebih banyak mendengarkan. Rasanya egois,
dia hanya memberiku porsi yang sedikit untuk bercerita.
Tapi, ya tak apa, aku mengalah. Kata orang belajarlah mendengarkan.
Toh, aku sedikit menikmati perbincangan ini.
Sembari mendengarnya bercerita, aku mengamati raut wajahnya.
Entah, kali ini dia tak tampan. Dulu rasanya dia tampan.
Kadar ketampannya berubah-ubah. Lalu aku berganti mengamati bibirnya.
Bibirnya merah, tapi tetap ada noda hitam di luar bibirnya. Bibir khas perokok.
Lebih dari dua jam kami bercakap.
Sepertinya itu pertama kalinya aku berbincang dengan
kawan laki-laki selama itu dan hanya berdua dengannya saja.
Aku tak merasa ada getaran apapun saat bersamanya.
Hanya saja, aku sedikit canggung dan seringkali memainkan
sendok es krim yang sudah kutandaskan untuk menetralisir kadar kecanggunganku.
Saat jam menunjukkan pukul empat lebih, aku pun pamitan pulang.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer