Berjalan di Bawah Hujan
Aku berjalan menyusuri trotoar yang masih basah bekas hujan beberapa jam yang lalu. Aku menengadahkan wajahku ke atas seraya menyapu pandangan ke langit kelabu yang membentang luas. Sepertinya hujan akan turun lagi. Angin dingin menerpa wajahku
Hujan mulai reda. Aku berdecak. Langkahku terhenti di depan sebuah kedai mi ayam yang sepi pengunjung. Kruuuyukk. Perutku berbunyi. Badanku sedikit menggigil karena bajuku yang basah kuyup. Tanpa berpikir banyak, aku segera masuk ke kedai itu. Aku pun memesan satu porsi mi ayam dan segelas jeruk panas pada bapak penjual yang sedang duduk. Wajahnya yang tadinya murung menjadi cerah usai mendegar pesananku. Dugaanku, aku pelanggan pertamanya di hari itu.
"Ini mbak pesanannya, selamat menikmati," ujar bapak penjual itu seraya meletakkan mangkuk dan gelas di mejaku.
Aku sudah tak sabar menyicipi mi ayam yang masih panas dan bau harum bumbu-bumbu rempah yang menguar dari uap mi ayam tersebut. Kuambil sumpit di depanku dan segera menyantapnya. Bapak penjual itu duduk di sebuah bangku seberang kananku duduk. Dia mengeluarkan korek dan sebatang rokok dari sakunya. Ia pun menyulut apinya lalu menghisap rokonya dalam-dalam.
Aku tersadar dan segera berjalan lagi. Beberapa menit melangkahkan kakiku, rintik-rintik hujan mulai membasahi tanah. Kulihat orang-orang yang berjalan kaki segera berlari untuk berteduh atau mencoba melindungi diri dengan benda yang dibawanya.
Aku heran, mengapa orang-orang begitu takut dengan air hujan. Apa salahnya badan kuyup oleh air hujan? Mungkin saja mereka menghindari terkena penyakit, seperti demam dan flu. Ah, itu hanya penyakit kecil yang nantinya juga akan sembuh dengan sendirinya. Banyak kemungkinan diantara alasan orang-orang yang berlari dari hujan. Tapi aku lebih heran dengan orang-orang yang gemar membuat status berisi foto rintik hujan beserta caption-nya berisi tulisan tentang dirinya yang seolah-olah menyukai hujan padahal sebenarnya pada saat hujan turun mereka justru mengeluhkan hujan yang turun terus menerus. Aku tak habis pikir.
Aku menikmati saat diriku berjalan di bawah hujan yang mengguyur tanah dengan derasnya. Satu-dua orang tampak meihatku nanar seolah di dalam benaknya berkata, "aneh sekali gadis itu, hujan deras seperti ini malah berhujan-hujanan."
Aku heran, mengapa orang-orang begitu takut dengan air hujan. Apa salahnya badan kuyup oleh air hujan? Mungkin saja mereka menghindari terkena penyakit, seperti demam dan flu. Ah, itu hanya penyakit kecil yang nantinya juga akan sembuh dengan sendirinya. Banyak kemungkinan diantara alasan orang-orang yang berlari dari hujan. Tapi aku lebih heran dengan orang-orang yang gemar membuat status berisi foto rintik hujan beserta caption-nya berisi tulisan tentang dirinya yang seolah-olah menyukai hujan padahal sebenarnya pada saat hujan turun mereka justru mengeluhkan hujan yang turun terus menerus. Aku tak habis pikir.
Aku menikmati saat diriku berjalan di bawah hujan yang mengguyur tanah dengan derasnya. Satu-dua orang tampak meihatku nanar seolah di dalam benaknya berkata, "aneh sekali gadis itu, hujan deras seperti ini malah berhujan-hujanan."
Aku tak peduli dengan yang mereka katakan.
Hujan mulai reda. Aku berdecak. Langkahku terhenti di depan sebuah kedai mi ayam yang sepi pengunjung. Kruuuyukk. Perutku berbunyi. Badanku sedikit menggigil karena bajuku yang basah kuyup. Tanpa berpikir banyak, aku segera masuk ke kedai itu. Aku pun memesan satu porsi mi ayam dan segelas jeruk panas pada bapak penjual yang sedang duduk. Wajahnya yang tadinya murung menjadi cerah usai mendegar pesananku. Dugaanku, aku pelanggan pertamanya di hari itu.
Aku pun duduk di sebuah bangku berbahan kayu yang sufah berwarna coklat kehitaman. Meja makannya tampak sedikit berdebu. Kipas angin yang menempel di dinding berputar sambil mengeluarkan bunyi yang tak enak didengar. Sepertinya, kedai ini sudah lama tak dikunjungi pembeli. Beberapa menit kemudian, pesananku datang.
"Ini mbak pesanannya, selamat menikmati," ujar bapak penjual itu seraya meletakkan mangkuk dan gelas di mejaku.
Aku sudah tak sabar menyicipi mi ayam yang masih panas dan bau harum bumbu-bumbu rempah yang menguar dari uap mi ayam tersebut. Kuambil sumpit di depanku dan segera menyantapnya. Bapak penjual itu duduk di sebuah bangku seberang kananku duduk. Dia mengeluarkan korek dan sebatang rokok dari sakunya. Ia pun menyulut apinya lalu menghisap rokonya dalam-dalam.
"Mbak itu pembeli pertama saya sejak seminggu yang lalu," kata bapak penjual itu padaku.
Benar dugaanku, aku pembeli pertamanya setelah beberapa hari. Lalu dia bercerita tentang istrinya yang meninggalkannya karena dirinya yang miskin dan anak-anaknya juga pergi bersama ibunya. Aku diam saja, melanjutkan makanku dan membiarkan bapak itu berceloteh sesuka hatinya. Kupikir, dia butuh kawan untuk bercerita di hari-harinya yang sepi.
"Ini semua berapa pak?" tanyaku usai menandaskan mi ayamku.
"Sepuluh ribu, mbak. Makasih sudah mau mendengar keluh kesah saya mbak"
"Sepuluh ribu, mbak. Makasih sudah mau mendengar keluh kesah saya mbak"
Aku hanya tersenyum tipis lalu menyodorkan uang kepada bapak penjual dan segera berlalu meninggalkan kedai tersebut.
Sebenarnya, rasa mi ayam kedai itu tak bisa dibilang enak, walau sebenarnya tak buruk-buruk amat, hanya warungnya saja yang terlihat sedikit menjijikkan. Padahal, kukira rasanya enak karena harum mi ayam yang menguar saat hendak memakan mi ayamnya tadi. Tapi, tak apa, setidaknya mi ayam tadi telah mengisi energiku yang telah terkuras.
Gema adzan mulai terdengar sayup-sayup entah dari mana asalnya. Berarti sudah menjadi penanda agar aku segera kembali ke kosan untuk beraktifitas seperti biasanya. Selagi berjalan pulang, langit tampak menyisakan awan kelabu yang berpencar-pencar berpadu dengan warna semburat jingga.
Komentar
Posting Komentar