Pagi Syahdu Bersama Mbah Uti

Sinar mentari menerpa wajahnya pagi itu. Wajahnya menghadap ke arah pintu rumah, tetapi angannya menerawang jauh ke depan. Aku terdiam di sofa merah yang empuk sambil menatapnya dan mencoba mencari tahu apa yang ada dipikirkannya. Kusandarkan punggungku ke belakang, kupasang earphone di telinga dan mendengarkan musik indie yang sendu. Tiba-tiba dia menolehkan wajahnya kepadaku,
 "Kalau besok sudah besar, kamu ingin jadi apa, nduk?"tanyanya.
Tak terduga pertanyaannya itu, kupikir dia akan terus diam dalam angannya.
"Aku ingin jadi jurnalis, mbah,"ujarku
Aku pun mengecilkan volume musik. Aku penasaran apa yang mau diceritakannya padaku.
"Kamu ndak pingin jadi guru seperti bapakmu? Besok pas lulus SMA, mau lanjut kuliah mana?" tanyanya padaku, matanya tetap menerawang kedepan.
Aku tersenyum dan sesaat. Aku bingung hendak menjawab apa pada pertanyaannya yang sederhana itu.
"Mboten mbah, aku mau lanjut di ilmu komunikasi," ujarku kemudian.
Aku terdiam, beliau juga terdiam. Kami sama-sama diam.
"Berarti kamu besok jago ceramah, ya?jago ngomong di depan orang banyak"
Aku tersenyum mendengar pernyataannya, aku hanya mengamini.
"Aamiin, mohon doanya mbah :)"
Beliau pun bercerita kalau mbah kung di masa lalu itu sering kali mengisi ceramah dimana-mana, di pernikahan, di acara RT, ataupun yang lainnya.
"Oh ya nduk, bukanya bapakmu juga sering ngisi ceramah yo?" tanya beliau.
Aku mengangguk.
"Iya mbah, nurun saking mbah kung niku... hehehe"
mbah uti terdiam lagi. Lagi-lagi pandangannya menerawang ke depan. Aku penasaran apa yang sedang dipikirkannya. Dan obrolan tidak berlanjut. Aku pun kembali memasang earphone dan membaca buku yang kubawa dari Jogja.

Komentar

Postingan Populer